Senin, 01 Desember 2008

Kalau Staf Akademik UPBJJ Jadi Tutor


Beberapa hari lalu, saya sempat kontak dengan Pak Adi Winata, Ka UPBJJ Jakarta dan Pak Adi Suryanto, Ka UPBJJ Surakarta, secara terpisah. Rasanya saya mendapat masukan yang sangat berharga, karena banyak hal yang baru saya pikirkan, bahkan ada yang belum pernah terpikirkan sejak saya masuk UT. Topik yang saya bicarakan sama, yaitu mengenai tidak dibolehkannya staf akademik di UPBJJ menjadi tutor. Hal itu dimaksudkan agar para staf tersebut dapat lebih memfokuskan aktivitasnya pada pengelolaan kegiatan tutorial. Memang pengelolaan tutorial perlu lebih diperhatikan, daripada menjadi tutornya sendiri. Adapun, peran tutor dapat dilakukan oleh dosen PT lain.

Walaupun demikian, alangkah baiknya bila kesempatan untuk menjadi tutor juga dapat tetap diberikan kepada staf akademik di UPBJJ. Apalagi mengingat sebentar lagi akan diberlakukan sertifikasi dosen, yang secara langsung atau tidak langsung akan memerlukan aktivitas akademik pada satu tingkatan tertentu. Tapi saya sendiri belum paham, bagaimana cara pengaturan agar kesempatan menjadi tutor tetap terbuka bagi mereka, tanpa mengabaikan tugas utama mereka di UPBJJ.

Bagi yang ingin ikut memberikan pendapat, silahkan mengisi "komentar" di bawah ini.

3 komentar:

puteri mengatakan...

Menjadi tutor adalah salah satu tugas dosen UT, sebagaimana dicantumkan dalam peraturan angka kredit dosen UT (bidang A: pendidikan dan pengajaran). Tugas pengelolaan tutorial juga tugas dosen UT. Jadi keduanya harus memperoleh porsi yang proporsional. Penugasan menjadi tutor dan mengelola tutorial harusnya diatur oleh manajer - dalam hal ini kepala upbjj, secara bijak - dengan mengikuti aturan angka kredit, tupoksi upbjj, dll. Reward and sanction tentang ini perlu diatur di upbjj. Diperlukan kepiawaian kepala upbjj mengatur, dan kompromi dengan dosen UT di upbjj. DOsen UT dimanapun dia berada tetap dosen - dan melalui sertifikasi dosen - adalah setara dengan dosen UI, dosen ITB dan lainnya. Mari kita buktikan bahwa kita memang dosen UT yang sama tinggi dan sama rendah (bahkan lebih) dengan dosen PT lainnya.

blue whale 1 mengatakan...

quote Puteri:

"...Mari kita buktikan bahwa kita memang dosen UT yang sama tinggi dan sama rendah (bahkan lebih) dengan dosen PT lainnya..."

Wah, ini perlu kerja keras. Rasanya selama ini saya sendiri merasa masih banyak yang harus dilakukan untuk sampai ke sana.

Selama ini kan kita (terutama saya sendiri) lebih banyak menajamkan "keunggulan komparatif", dibanding "keunggulan kompetitif". Bukan begitu ?

Tapi sekali lagi, saya setuju bahwa kita tidak harus ketinggalan dari dosen universitas lain.

basmi-koruptor mengatakan...

Tidak berkaitan dengan status kelas dunia


Tidak berkaitan dengan status kelas dunia


Hanya Lima PTN yang Raih Akreditasi A
Submitted by admin on Thu, 12/04/2008 - 16:24

Tanpa Akreditasi, Tidak Boleh Luluskan Mahasiswa
Kamis, 4 Desember 2008 | 00:57 WIB

Bandung, Kompas - Kesiapan perguruan tinggi untuk membangun sistem penjaminan mutunya dinilai masih sangat minim. Dari 55 perguruan tinggi yang mengikuti akreditasi institusi tahap I, hanya lima di antaranya yang telah meraih nilai sangat baik atau A.

Kelima perguruan tinggi itu adalah Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Menurut Sekretaris Eksekutif Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Adil Basuki Ahza, Rabu (3/12), di Bandung, tidak ada kaitan perolehan nilai A ini dengan reputasi internasional yang kebetulan dimiliki kelima perguruan tinggi negeri (PTN) ini.

”Tidak berkaitan dengan status kelas dunia. Tapi, secara faktual, kita tidak bisa membohongi diri kalau kelima perguruan tinggi ini punya kualitas lebih,” ungkap Basuki Ahza.

Ia melihat, ketidaksanggupan perguruan tinggi lain meraih nilai A lebih karena faktor ketidaksiapan diri. Serta, belum membangun sistem penjaminan mutu yang memadai.

Belum berani dinilai

Tahun 2008 ini, bahkan masih banyak perguruan tinggi yang belum berani dinilai. Dari kuota 50 perguruan tinggi yang dinilai, hanya 30 di antaranya yang terisi. Dan, hanya 25 yang lolos untuk dilakukan site visit (visitasi asesor). Visitasi dilakukan Desember ini. Untuk itu, Badan Akreditasi Nasional (BAN PT) berancang- ancang menghentikan sementara proses akreditasi ini di tahun depan.

Padahal, ia mengatakan, setiap program studi maupun perguruan tinggi negeri wajib untuk mengikuti akreditasi. ”Mereka (perguruan tinggi) lupa bahwa perguruan tinggi bisa kena pidana jika tidak segera memiliki akreditasi. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, jika perguruan tinggi tidak terakreditasi, maka perguruan tinggi tersebut tidak boleh meluluskan mahasiswa,” ujarnya.

Menurutnya, ketentuan ini akan efektif berlaku selambat- lambatnya tahun 2012 mendatang.

Di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pendidikan, ucapnya, bahkan disebutkan, hanya perguruan tinggi berakreditasi minimal B yang bisa meluluskan mahasiswa.

”Lulusan bisa menuntut penyelenggara program studi, dekan, atau rektor apabila klaim tentang akreditasi tidak betul dan mereka tidak bisa lulus,” kata Basuki Ahza.

Meski demikian, perguruan tinggi diperbolehkan mengajukan ulang penilaian setelah dua tahun pengajuan pertama, asalkan ada jaminan perbaikan.

Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof Sunaryo Kartadinata mengakui, hasil akreditasi institusi sangatlah bergantung faktor kesiapan tiap perguruan tinggi. Namun, ia melihat, akreditasi institusi ini tidak lebih penting daripada akreditasi yang ada di tiap-tiap program studi. Sebab, ujung tombak akademik justru ada di program studi.

UPI saat ini memperoleh akreditasi B meski kampus ini sekarang memiliki aset gedung mewah bernilai sekitar Rp 500 miliar. (jon)
http://www.dikti.org/?q=node/369