Kamis, 27 November 2008

E-bookstore

E-book store merupakan satu inovasi yang cukup menjanjikan. Sistem ini menggunakan teknologi canggih, sehingga memungkinkan meningkatkanya kecepatan dan akurasi.
Akan tetapi, selama ini memang ada beberapa keluhan. Saya rasa, perlu waktu untuk lebih memasyarakatkan sistem ini. Selain itu, memang ada beberapa keluhan mengenai kesulitan teknis lainnya. Namun yang saya amati, yang lebih tepat untuk diungkapkan bukanlah mengenai keberadaan sistem ini. Yang lebih relevan adalah usulan, agar sistem ini bukan menjadi satu-satunya sistem untuk melayani kebutuhan bahan ajar. Cara lain, yang berupa cara konvensional, ada baiknya tetap disediakan, terutama selama masa transisi

7 komentar:

Putera mengatakan...

Saya setuju dengan tetap mempertahankan cara konvensional.

Berdasarkan pemantauan dan verifikasi terhadap beberapa dosen pengampu tutorial online (tuton), dari ratusan peserta tuton yang teregistrasi, jumlah peserta aktif hanya puluhan mahasiswa, padahal tuton berkontribusi 15% terhadap nilai akhir mahasiswa.

Dapat saya katakan mahasiswa pengguna internet masih sangat minim dibandingkan dengan keseluruhan mahasiswa, apalagi untuk berbelanja melalui E-book store.

Saat ini E-book store secara terang-terangan menolak dan tidak akan memproses pembelian BMP yang pembayarannya dilakukan dengan TBS baik BTN maupun BRI, artinya mahasiswa harus transfer ke rekening Koperasi Karunika pada Bank Mandiri.

Saya sempat mengerenyitkan dahi, pembayaran honor kepada penulis BMP dilakukan oleh Universitas Terbuka dengan uang rakyat yang diterima UT setiap tahun, penerbitan, pengangkutan dilakukan dengan sarana prasarana pada internal Universitas Terbuka, sementara penjualan dilakukan oleh koperasi, adakah benang merah di antaranya?

Ada lagi cara lain untuk mahasiswa mendapat bahan ajar sesuai butir (3) surat rektor UT No. 18953/H31/BA/2007, yaitu "digital library" untuk kemudahan mahasiswa UT sehingga dapat mempelajari BMP digital melalui komputer yang memiliki koneksi internet.

Namun pada kenyataan e-Library UT hanya sebagai hiasan layar monitor (http://student.ut.ac.id/mod/forum/discuss.php?d=34483)

kembangmawar mengatakan...

Bung Putera,

yang jadi masalah kok belum jelas.


Layanan yang harus lewat koperasi, atau digital library yang kurang lancar ?

kota kembang mengatakan...

Pendirian Universitas Terbuka (UT) sebagai Perguruan Tinggi Negeri ke-45 di Indonesia melalui Keputusan Presiden RI N0. 41 Tahun 1984, dalam sudut pandang Hukum Administrasi Negara merupakan pelaksanaan dari norma hukum (peraturan perundangan) di atasnya yang bersumberkan antara lain, pada:
1. alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 tentang tujuan negara Republik Indonesia, "memajukan kesejahteraan umum" dan "mencerdaskan kehidupan bangsa";
2. Pasal 31 UUD 1945 ayat (1) "setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan";
3. Pasal 31 UUD 1945 ayat (3) "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-undang.
4. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional,

maka setiap tindakan pengelola Universitas Terbuka selaku pejabat administrasi negara dan abdi rakyat seharusnya sesuai dengan norma hukum sebagai landasan kewenangan dan payung hukum yang menaunginya dengan berpihak kepada publik dengan memberikan pelayanan prima, cepat dan murah, bagi mahasiswa peserta didik secara khusus terkait bahan ajar, hak mahasiswa untuk memperoleh kemudahan dalam memperoleh Buku Materi Pokok (BMP) merupakan kewajiban pengelola UT.


E-book store memang merupakan inovasi teknologi dalam berusaha, secara pribadi saya setuju dengan inovasi teknologi yang dapat menekan biaya dalam berusaha, namun untuk kasus E-book store pada lingkungan Universitas Terbuka, saya mengajak peserta blog berdiskusi dengan menjawab pertanyaan berikut:

(1) Apakah keputusan menutup bursa buku pada setiap UPBJJ-UT dan hanya melakukan penjualan secara on-line melalui E-bookstore lebih memudahkan mahasiswa untuk membeli BMP dibandingkan membeli langsung di UPBJJ-UT?

(2) Apakah keputusan menutup bursa buku pada setiap UPBJJ-UT dan hanya melakukan penjualan secara on-line melalui E-bookstore telah sejalan dengan tujuan negara Indonesia menuju "welfare state"?

(3) Apakah penutupan bursa buku pada setiap UPBJJ-UT bertentangan dengan semangat "mencerdaskan kehidupan berbangsa" ?

(4) Apakah penjualan secara monopoli oleh koperasi Karunika melalui E-bookstore selaras dengan nafas "Sistem Pendidikan Nasional" ?

(5) Apakah keputusan penjualan hanya secara On-line saja telah melalui evaluasi secara seksama sehingga merupakan bagian dari tujuan pendirian UT untuk memberi kesempatan yang luas bagi warga negara Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke atau di manapun tempat tinggalnya ?

Mudah-mudahan hasil diskusi dapat menjadi masukan pada Rektor baru UT dalam menjalankan tugas terkait pengadaan bahan ajar bagi mahasiswa UT.

kota kembang mengatakan...

Telah saya sampaikan sebelumnya bahwa tindakan pejabat administrasi negara dengan segala kewenangan yang dimilikinya berdasarkan norma hukum, harus berpihak kepada publik dengan memberikan pelayanan prima, cepat dan murah.
Transparansi merupakan faktor yang paling penting dan wajib dalam proses pengambilan keputusan maupun pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh pejabat adminsitrasi negara, namun apa yang terjadi pada kasus Ebookstore Universitas Terbuka?

Penggunaan nama domain internet di Indonesia berdasarkan pendelegasian kepada Indonesia Domain Name Network Information Center (IDNIC) untuk Perguruan Tinggi secara umum adalah "ac.id", misal; "www.ut.ac.id" untuk Universitas Terbuka (UT), dengan berbagai sub domain, antara lain; student.ut.ac.id (UT-Online), public.ut.ac.id (umum), mail.ut.ac.id (untuk "mail server" milik UT).

Penggunaan nama domain internet di Indonesia berdasarkan pendelegasian kepada Indonesia Domain Name Network Information Center (IDNIC) untuk badan usaha atau bisnis secara umum adalah ".co.id", misal; "www.karunika.co.id" untuk Koperasi Karunika sebagai badan usaha, dengan demikian seharusnya penjualan buku atau ebookstore melalui karunika pada internet dapat menggunakan; "ebookstore.karunika.co.id"

Secara jelas dan nyata, penjualan BMP saat ini, adalah melalui situs "ebookstore.ut.ac.id", selintas memang nampak tidak ada masalah, namun menurut saya dalam sudut pandang regulasi penamaan berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat baik oleh badan-badan internet dunia, antara lain IANA dan ISOC maupun kesepakatan nasional pada Pengelola Nama Domain Indonesia (PANDI) dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) penamaan situs telah menimbulkan kerancuan, sebab penjualan buku melalui situs "ebookstore.ut.ac.id" sebagai sub-domain "ut.ac.id" telah membuat kesan bahwa seolah-olah penjualan buku dilakukan oleh pihak Universitas, namun pada kenyataan yang melakukan penjualan adalah Koperasi Karunika, apakah Koperasi Karunika merupakan kesatuan dan bagian Universitas Terbuka?
Tentu tidak mungkin, sebab Universitas Terbuka adalah Perguruan Tinggi Negeri ke-45 di Indonesia dibawah naungan Departemen Pendidikan Nasional yang didirikan dengan tujuan yang mulia (sebagaimana telah saya tulis pada tulisan terdahulu), sedangkan Koperasi Karunika adalah sebuah entitas tersendiri yang berada di bawah naungan pada Dinas Koperasi Tangerang, dimana secara jelas bahwa tujuan pendirian koperasi adalah untuk kesejahteraan anggota.
Karena tujuan pendirian UT jelas-jelas berbeda dengan pendirian sebuah koperasi, maka penjualan buku oleh koperasi namun dengan menggunakan nama Perguruan Tinggi tentunya sangat menarik.

Berdasarkan hasil "trace-route" internet yang saya lakukan, terjadi indikasi bahwa penempatan perangkat untuk sub-domain "ebookstore.ut.ac.id" berada pada lokasi yang sama dengan sub-domain "student.ut.ac.id", "mail.ut.ac.id" dan "public.ut.ac.id", sehingga saya menduga bahwa penjualan melalui ebookstore oleh Koperasi Karunika telah mendompleng setidaknya fasilitas "hosting", "Internet Protocol (IP)" dan "koneksi internet" pada Puskom Universitas Terbuka. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut tanpa ada tranparansi keuangan maka ada dugaan bahwa Koperasi Karunika berjualan BMP melalui secara On-line dengan "biaya" yang dibebankan pada biaya operasional Universitas Terbuka.

Demikian pula pada bidang SDM penjualan buku secara on-line oleh Koperasi Karunika, karena tidak ada transparansi maka ada dugaan bahwa staff Universitas Negara sebagai PNS yang seharusnya menjadi abdi rakyat telah menjalankan usaha sebagai karyawan operasional koperasi dalam kesehariannya.
Melalui pengamatan pada beberapa forum "student.ut.ac.id" sejak tahun 2008, salah satu staff Puskom Universitas Terbuka (Bapak Tengku Edward) sering tampil melalui tulisannya pada forum tanggapan untuk melayani pertanyaan mahasiswa seputar masalah perkuliahan di Universitas Terbuka, terutama seputar nilai UAS 2008.2 yang tidak keluar, namun demikian beliau juga sering meresponse setiap komplain mahasiswa yang telah berbelanja melalui ebookstore.ut.ac.id.
Secara pribadi saya kagum kepada beliau disela-sela kesibukan pada kesehariannya di gedung Puskom Universitas Terbuka, masih meluangkan waktu untuk mahasiswa Universitas Terbuka, dibalik kekaguman saya terhadap beliau, timbul pertanyaan, apakah Beliau pada saat ini telah melepaskan jabatannya di Puskom dan telah berpindah sebagai karyawan Koperasi Karunika dalam penjualan BMP?
Dalam organisasi manapun jabatan rangkap tidak diperkenankan, saya percaya atasan Bung Edo sangat paham bahwa jabatan rangkap akan mudah menimbulkan konflik, namun mengapa hal itu terjadi?

Mendung tak berarti hujan, selama awan menyelimuti langit, sinar mentari terhalang tabir surya di bumi nan kelabu, oleh sebab itu terkait kasus pengelolaan ebookstore, saya harapkan pada Rektor UT yang baru agar membawa secercah sinar untuk menerangi pengelolaan sehingga transparan, antara lain:
1. unit usaha yang melakukan penjualan BMP secara on-line memiliki nama situs dengan domain yang sesuai dengan peruntukannya.
2. unit usaha yang melakukan penjualan BMP harus beroperasi secara independen, tidak saja urusan "hosting", operasional, atau "koneksi internet", namun Sumber Daya Manusia yang mengelola tidak tumpang tindih jabatan sebagai staff pada Universitas Terbuka.

kota kembang mengatakan...

Dalam melakukan tindakan, pejabat administrasi negara harus berpegang pada azas hukum, baik azas kemanfaatan, maupun azas kepastian hukum. Sebagai contoh; apabila seorang pejabat telah memutuskan untuk mendirikan Rumah Sakit pada wilayah lingkungan administrasi, maka baik pejabat ybs dan penggantinya wajib menjamin kepastian bahwa Rumah Sakit tersebut digunakan sebaik-baiknya demi kemaslahatan orang banyak.

Bagaimana dengan kasus Ebookstore pada lingkungan Universitas Terbuka?

Memperhatikan Foto yang bergambarkan Pengumuman "INFORMASI PENJUALAN BAHAN AJAR", berdasarkan Surat Rektor UT No. 18953/H31/BA/2007:
(1) Mulai awal tahun 2008 pembelian Bahan Ajar (BA) Non Pendas dapat dilakukan melalui e-bookstore (http://ebook.ut.ac.id) dan pembelian langsung di UPBJJ.
(2) Sejak Agustus 2008 penjualan BA Non Pendas di UPBJJ akan dihentikan, penjualan BA Non pendas hanya dilakukan melalui e-bookstore.
(3) Disamping itu UT akan meluncurkan digital library (http://puslata.ut.ac.id) untuk memberikan kemudahan kepada mahasiswa UT sehingga dapat mempelajari BMP digital melalui komputer yang memiliki koneksi ke internet.
(sumber http://student.ut.ac.id/mod/forum/discuss.php?d=56053#131945)

butir (1) secara prinsip saya setuju, artinya mahasiswa mendapat alternatif, selain membeli BMP secara langsung di UPBJJ, mahasiswa dapat membeli lewat e-bookstore.
butir(2), Sampai detik ini, Rektor tidak pernah secara transparan menyebutkan dasar hukum penghentian penjualan BA Non Pendas di UPBJJ, memang secara pribadi saya pernah berbincang-bincang dengan salah satu pembantu rektor, beliau menyebutkan bahwa telah terjadi kesulitan pertanggungjawaban keuangan penjualan buku oleh UPBJJ kepada UT Pusat, namun bagi saya tetap bahwa masalah tersebut bukan merupakan suatu dasar hukum penghentian penjualan BA Non pendas di UPBJJ-UT.
Di sisi lain, pada setiap UPBJJ-UT telah dipersiapkan Gedung untuk gudang penyimpanan Buku, sebagai contoh gambar Gedung Gudang Buku yang demikian megah terpampang jelas di UPBJJ-UT Surabaya (http://public.ut.ac.id/files/documents/MERETAS_SEJARAH_UPBJJSURABAYA.pdf), yang mana pembangunan gedung tersebut telah melalui persetujuan Rektor UT tentunya, dengan penutupan bursa buku, artinya gedung yang peruntukan semula untuk buku akan menjadi mubazir. Rektor boleh berkelit bahwa gedung tetap berfungsi untuk menyimpan Bahan Ajar atau Buku Pendas, namun sejauh yang saya ketahui program Pendas akan selesai pada tahun 2015.
Beberapa hari yang lalu, saya mampir ke UPBJJ-UT Jakarta di kompleks UNJ Rawamangun, rak-rak buku yang tadinya digunakan pada bursa buku kini tergeletak di luar, meski tidak kepanasan atau kehujanan, namun berhimpitan dengan mahasiswa UT atau calon mahasiswa UT yang akan melakukan registrasi masa 2009.1, padahal UPBJJ-UT Jakarta merupakan barometer UT secara umum.
Di UPBJJ Bandung, ruang bursa penjualan buku telah disulap menjadi perpustakaan yang kuncinya entah di mana ketika saya bermaksud untuk masuk ke dalam karena petugas yang memegang kunci ruangan tengah melakukan dinas di luar kota.
Kejadian-kejadian tersebut mencerminkan bagaimana kacau balaunya perencanaan pada pengembangan program di lingkungan Universitas Terbuka bahkan dapat berindikasi melakukan pemborosan yang dapat berakibat pada kerugian tidak saja secara finansial.
butir(3), peluncuran BMP digital yang dilakukan melalui pengumuman pada situs student.ut.ac.id oleh Pembantu Rektor I pada pertengahan tahun yang lalu, bagai "ada kepala tanpa buntut", BMP digital "menghilang" begitu saja tanpa penjelasan dari pihak pengelola UT, sementara banyak mahasiwa menagih kepada pihak pengelola UT sebagai "janji" yang tidak dipenuhi melalui forum tanggapan, padahal seharusnya pihak pengelola harus tunduk pada keputusan yang telah dibuat dengan segala risiko.
Berdasarkan uraian di atas, maka pengelola UT (Rektor) telah melakukan inkonsekuen terhadap konsekuensi yang telah diputuskannya melalui Surat Rektor No. 18953/H31/BA/2007. Sebenarnya pengelola UT dapat saja diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun kita sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi adat timur dan berkebudayaan luhur tentunya selalu mengedepankan musyawarah, karena akan lebih baik bagi kami sebagai yang lebih muda untuk mengingatkan kepada orang tua jika ada kesalahan, sebab sebagai keluarga besar dalam lingkungan civitas akademi Universitas Terbuka tidak rela jika karena kesalahan yang diperbuat, "rumah" kami dilempari batu oleh tetangga.
Saya berharap Rektor UT yang baru dapat konsekuen akan segala keputusan yang dibuat dan kebijakan yang ditempuh, dalam kasus E-bookstore, antara lain:
1. Sesuai butir (1), Ebookstore diselenggarakan sebagai alternatif pembelian BMP oleh mahasiswa UT selain membeli lewat bursa buku pada UPBJJ-UT, bahkan akan lebih baik jika BMP UT dapat tersedia di toko-toko buku yang berada di seantero jagat.
2. Jika memang telah terjadi kesulitan pertanggungjawaban keuangan terkait masalah Bahan Ajar dari UPBJJ kepada UT pusat, tentu akan lebih baik membenahi sistem daripada menghentikan penjualan langsung, sebab sangat tidak masuk akal, jika karena ada beberapa tikus yang menggerogoti maka rumah yang kita tempati harus di hancurkan.
3. Apapun risiko yang harus dihadapi, pengelola UT wajib secara konsekuen untuk memberi akses BMP digital oleh mahasiswa aktif melalui "puslata.ut.ac.id"

Putera mengatakan...

http://student.ut.ac.id/mod/forum/discuss.php?d=24650

Sdr. Sigit Supriadi tutor FMIPA UT menulis pada forum tanggapan bahwa E-bookstore bukan pemaksaan, mahasiswa boleh mendapatkan BMP dengan cara apapun sebab tidak ada sanksi akademis jika tidak membeli secara on-line.

Pernyataan yang sangat mengenaskan, tidak berperasaan manakala Rektor UT saat ini tidak mengindahkan masukan Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia, Departemen Hukum dan HAM yang telah meminta Rektor UT untuk tetap menyediakan BMP melalui bursa buku pada UPBJJ-UT (cara konvensional) dan Ebookstore hanya dilakukan sebagai sarana penjualan alternatif.

Memang benar seperti pernyataan Sdr. Sigit Supriadi, tidak membeli lewat On-line tidak akan mendapat sanksi administratif, fotokopipun boleh meski tidak etis.

Namun akan lebih bijak sebagai seorang dosen bilamana Sdr. Sigit Supriadi memberi solusi kepada mahasiswa UT untuk memperoleh BMP selain lewat E-bookstore.

kota kembang mengatakan...

Benarkah bursa buku pada setiap UPBJJ-UT perlu dibuka kembali?

Menurut penjelasan Rektor dalam salah satu suratnya menyatakan bahwa ".....setelah melalui kajian yang mendalam dan belajar dari pengalaman selama 23 tahun maka penjualan bahan ajar secara online di UT merupakan suatu solusi untuk memenuhi akuntabilitas dan akurasi pertanggungjawaban (khususnya keuangan) kepada pemerintah akan lebih terjamin..."

di sisi lain Rektor menyatakan pulan bahwa:
"...... Penjualan bahan ajar secara manual yang selama ini dilakukan ternyata membahayakan UT karena pertanggungjawaban keuangannya sering sekali tidak memuaskan pihak pemeriksa"


Siapakah pemeriksa?

Dalam melakukan investigasi tentang Ebookstore di UT Pusat, saya sempat berkunjung pada salah satu pembantu rektor. Beliau menyatakan bahwa penjualan BMP hanyalah 10% dari jumlah kebutuhan mahasiswa, namun pimpinan (Rektor) yang menginginkan bahwa BMP tetap tersedia secara fisik dan indah.

Hingga saat ini saya tidak paham atas kalimat tersebut.


Perguruan Tinggi Jarak Jauh (PTJJ) wajib membuka akses bahan ajar secara penuh kepada mahasiswa merupakan hal yang sesuai dengan tujuan pendirian UT,yaitu memberi kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh pendidikan tinggi.